Monthly Archives: Agustus 2008

Tsunami Pengangguran Terdidik Mencapai 4,5 juta Orang

Sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka Februari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Rendahnya daya adaptasi lulusan sekolah formal memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran.

Ironisnya, kondisi ini berlangsung saat perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir, yakni 6,3 persen. Pemerintah harus lebih fokus pada peningkatan kompetensi dan keahlian angkatan kerja untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja baru.

Demikian salah satu poin yang mencuat dari laporan Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008 Organisasi Buruh Internasional (ILO). Ekonom ILO Jakarta, Kee Beom Kim, Kamis (21/8) di Jakarta, mengatakan, sebanyak 50,3 persen penganggur tahun 2007 berpendidikan SMA dan lebih tinggi.

”Peningkatan kualitas pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi pemerintah untuk ke depan,” kata Kim.

Penganggur terdidik termasuk berusia muda, yakni 15-24 tahun, berjumlah 5.660.036 orang.

Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang tidak bekerja. Meskipun jumlah penganggur terdidik meningkat, secara umum jumlah penganggur terbuka menurun dari sebelumnya 10.011.100 orang.

Peningkatan kompetensi

Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Sri Moertiningsih Adioetomo, mengatakan, pemerintah harus lebih fokus meningkatkan kompetensi dan keahlian para siswa SMA, sekolah menengah kejuruan (SMK), dan mahasiswa sejak mereka masih dididik.

”Pemerintah harus fokus pada pembinaan generasi muda yang bakal masuk ke pasar kerja sejak mereka masih sekolah. Mereka sangat berpotensi dan mampu menyerap berbagai hal yang bisa meningkatkan kompetensi dan keahliannya sesuai kebutuhan pasar kerja,” kata Moertiningsih.

Secara terpisah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengatakan, upaya pengurangan harus dimulai dari hulu, yaitu pembenahan sistem pendidikan. Tanpa peningkatan kompetensi sejak awal, laju pengangguran sulit dibendung.

Integrasi kebijakan

Menurut Erman, Depnakertrans, Departemen Pendidikan Nasional, dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia sejak 13 Februari 2007 bekerja sama menyinkronkan pemahaman kebutuhan pasar kerja dengan dunia pendidikan. Kerja sama ini mencakup tiga hal, yakni pemahaman hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, kebutuhan pasar kerja, serta pengenalan peraturan ketenagakerjaan.

”Minimnya kompetensi dan keahlian lulusan sekolah formal terlihat dalam bursa-bursa kerja yang semakin sering diselenggarakan sejak tahun 2006. Meskipun peminat setiap bursa membeludak, hampir 30 persen lowongan kerja yang tersedia tidak terisi karena pelamar tidak memenuhi kriteria pemberi kerja. Artinya, lapangan kerja tersedia, kompetensi peminat tak memenuhi persyaratan yang diminta,” kata Erman.

Depnakertrans juga telah menyelenggarakan program three in one, yakni pelatihan, sertifikasi, dan penempatan, sejak tahun 2007. Sebanyak 162 balai latihan kerja direvitalisasi sejak 2006 guna meningkatkan kompetensi dan keahlian calon tenaga kerja.

Lapangan kerja

Deputi Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bidang Neraca dan Analisis Statistik Slamet Sutomo mengingatkan, persoalan krusial dalam kemelut pengangguran adalah melemahnya kemampuan pertumbuhan ekonomi untuk menyediakan lapangan kerja formal. ”Tahun 2008, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menambah 702.000 tenaga kerja. Tetapi, ada tren semakin besar yang masuk ke sektor informal. Padahal, yang dibutuhkan adalah penyerapan tenaga kerja pada sektor formal,” ujar Slamet.

BPS mengidentifikasi sekitar 70 persen pekerja berada di sektor informal. ”Jika asumsi itu dipakai pula pada penambahan tenaga kerja baru, artinya dari 702.000 tenaga kerja baru yang bertambah setiap 1 persen pertumbuhan, hanya sekitar 210.000 tenaga kerja yang masuk ke sektor formal,” katanya.

Sektor formal yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah industri pengolahan, sementara pekerjaan informal terutama disediakan oleh sektor pertanian, perdagangan, dan pengangkutan.

Menurut Slamet, hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi makin bertumpu pada sektor jasa. Padahal, sektor jasa, seperti komunikasi dan keuangan, kurang menyerap tenaga kerja. Sebaliknya, pertumbuhan sektor industri pengolahan yang paling banyak menyerap tenaga kerja makin lemah

Pemberantasan Kemiskinan Menjadi Prioritas Pemilih Dalam Memilih Pemimpin

Masyarakat menilai pembangunan di sektor perekonomian, pendidikan, dan kesehatan yang dijalankan Pemerintah Kota Jambi belum berhasil. Akses lapangan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan, serta pendapatan ekonomi masyarakat masih rendah.

Sejumlah masalah perkotaan paling menyita perhatian para calon pemilih. Ini terungkap dalam hasil survei ”Pencitraan Personal dan Pemetaan Isu-isu Politik Pilkada Kota Jambi” yang dilaksanakan Tetra Communication selama April-Juni lalu.

Hasil survei terhadap 535 responden pada 62 kelurahan di Kota Jambi menunjukkan, minimnya lapangan pekerjaan sebagai masalah utama di Jambi, yang mengakibatkan angka pengangguran meningkat tajam. Ini juga berkorelasi dengan pendapat responden mengenai pendapatan ekonomi masyarakat yang semakin sulit. Begitu pula kebijakan politik dan aksesibilitas publik terhadap masalah pendidikan dan kesehatan.

”Sebanyak 67,8 persen responden menilai penciptaan lapangan kerja belum berhasil, penilaian serupa juga pada upaya peningkatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” tutur A Shomad, Pimpinan Tim Survey Tetra Communication kepada pers, Jumat (15/8) di Jambi.

Partisipasi tinggi

Meski belum puas dengan pembangunan selama ini, angka partisipasi masyarakat Kota Jambi menyambut Pemilihan Kepala Daerah Kota Jambi yang dijadwalkan 20 Agustus mendatang cukup tinggi. Sebanyak 87,8 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Hanya 11 persen yang menyatakan tidak ikut memilih, itu pun karena alasan belum terdaftar.

”Ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang bahwa angka golput bakal tinggi,” ujarnya.

Melihat hasil survei, menurut Shomad, tiga pasangan calon wali kota dan wakil wali kota, yaitu Bambang Priyanto-Sum Indra, Asnawi-Nuzul Prakasa, dan Zulkifli Shomad-Agus Roni, memiliki kesan personal yang bersaing ketat. Dalam hal kesan intelektualitas, posisi Bambang-Sum lebih unggul, yaitu 61,8 persen; pasangan Asnawi-Nuzul 56,4 persen; dan Zul-Agus 56,4 persen. Sutrisno-Effendi Hatta jauh di bawah, hanya 46 persen.

Begitu juga penilaian masyarakat terhadap ketajaman visi pasangan calon, Bambang-Sum 58,7 persen; Asnawi-Nuzul 58,4 persen; Zul-Agus 51,1 persen; sedangkan Sutrisno-Effendi 41,9 persen.

Bambang-Sum kembali unggul untuk penilaian karisma ketokohan, yaitu 59,4 persen; Asnawi-Nuzul 57,5 persen; Zul-Agus 53,5 persen; dan Sutrisno-Effendi 44,4 persen.

Secara umum, pasangan Bambang-Sum unggul pada sejumlah materi survei. Namun, saat ditanya ”Siapakah yang paling pantas menjadi Wali Kota Jambi?”, Asnawi justru lebih unggul, yaitu 18 persen. Bambang memperoleh 13,7 persen, Zulkifli 8,8 persen, Sutrisno 1,5 persen, dan lainnya tidak memilih keempat-empatnya

Pasien Keluarga Miskin GAKIN Makin Dipersulit Untuk Berobat dan Memperoleh Akses Kesehatan

Warga miskin di Jakarta dan sekitarnya yang mengidap penyakit kronis mengaku dipersulit mendapatkan pelayanan pengobatan gratis, terutama permintaan untuk dirawat inap. Selasa (12/8), pasien miskin dan keluarga mereka kembali mengadu ke Menteri Kesehatan dan Kepolisian Daerah Metro Jaya.

”Tumor yang diderita ayah saya tampak menonjol di pipi dan rahangnya. Ayah sering kesakitan dan (penyakitnya) bertambah parah karena harus bolak-balik dari rumah atau tempat penampungan ke rumah sakit. Kondisinya pernah kritis, tetapi RSCM tetap menggolongkannya sebagai pasien rawat jalan,” kata Salman Alfarisi (18), Selasa.

Ayah Salman Alfarisi, Shahidin (53), akhirnya meninggal, Jumat (8/8). Warga Kampung Ali Ulu RT 03 RW 01, Desa Tanjung Sari, Cikarang Barat, Bekasi, ini sudah sejak lama menderita tumor mandibula dan dirawat di RSUD Kabupaten Bekasi sebelum dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusimo (RSCM) Jakarta, 16 Mei 2008.

Salman Alfarisi didampingi Ketua Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan, Shahidin sempat dirawat inap di RSCM, tetapi kemudian dinyatakan bisa menjalani rawat jalan. Padahal, kata Iskandar, kondisi Shahidin tidak memungkinkan dirawat jalan.

Shahidin termasuk dalam sekitar 26 pasien rawat jalan yang diminta meninggalkan penampungan tidak resmi di ruang Irna B RSCM, Rabu (16/7). Ia juga pernah ditampung di Gedung YLBHI di Salemba. Sebelum meninggal, Shahidin diterima rawat inap di RS Yadika, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

”Ayah adalah korban program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) yang tidak tepat. Seharusnya pemerintah memperhitungkan perawatan yang memadai bagi pasien miskin, termasuk akomodasi selama rawat jalan,” Salman.

Mewakili Salman dan pasien telantar, Ketua Divisi Obat dan Makanan LBH Kesehatan R Aulia Taswin menyerahkan surat permohonan perhatian terkait realisasi program jamkesmas kepada Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Aminullah. Surat itu akan diteruskan ke Menteri Kesehatan.

Rombongan pasien dan keluarga serta LBH Kesehatan kemudian melaporkan Direktur Umum RSCM ke Polda Metro Jaya.

Tetap dilayani

Direktur RSCM Akmal Taher mengaku bingung karena dirinya dilaporkan ke Polda Metro Jaya. ”Yang dimaksud tidak bertanggung jawab itu apa. Sampai sekarang, semua pasien rawat jalan tetap dilayani pengobatan medisnya. Kami punya bukti-buktinya,” kata Akmal Taher.

Menurut Akmal Taher, RSCM memperlakukan pasien gakin sama seperti pasien umum. Jika memang statusnya rawat jalan, secara periodik pasien memiliki jadwal kunjungan pemeriksaan atau pengobatan tetap.

Akmal juga menjelaskan, Shahidin dirawat jalan di RSCM sejak 20 Mei hingga 26 Juni. Biopsi, CT-scan, dan pengobatan lain telah dilakukan. Namun, yang bersangkutan tiba-tiba tidak datang lagi ke RSCM sejak pemeriksaan terakhir

4 Juta Anak Indonesia Mengalami Kekurangan Gizi

Sebanyak 4 juta anak Indonesia penderita kurang gizi terancam merosot kondisinya ke gizi buruk jika tidak ditangani semestinya. Hal ini mengkhawatirkan karena dari 250.000 posyandu, yang aktif kurang dari 50 persen. Sementara pemerintah hanya mampu menangani 39.000 anak gizi buruk per tahun.

Demikian diungkapkan ahli gizi anak dari Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Ir Ali Khomsan MS, dan Tim Ahli Anak dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Tb Rachmat Sentika, pada peluncuran Nestle Dancow Batita, Senin (11/8) di Jakarta.

Ali Khomsan mengatakan, gizi buruk dilaporkan telah memakan korban. Di Nusa Tenggara Timur, sejak Januari sampai Juni 2008, dilaporkan 23 anak balita gizi buruk meninggal. Kasus di daerah lain banyak, tetapi belum terungkap. Penyebab tingginya angka tersebut adalah kemiskinan. Jika tak ditangani dengan baik, status anak kurang gizi bisa menjadi gizi buruk. Karena miskin, kandungan makanan mereka dominan karbohidrat.

Untuk mencegah merosotnya kondisi anak kurang gizi, posyandu perlu direvitalisasi, antara lain dengan meningkatkan kualitas kader posyandu, terutama soal pengetahuan tentang gizi. Faktanya, pengetahuan gizi kader posyandu umumnya rendah. Apalagi mereka kurang dihargai, dianggap sebagai pekerja sukarela.

”Dari 250.000 posyandu yang ada, tidak lebih dari 50 persen yang masih aktif. Berarti, cakupan pengendalian kualitas gizi balita tak lebih 50 persen,” ujarnya.

Menurut Rachmat, hal mendesak yang harus dilakukan adalah operasi sadar gizi dan keluarga berkualitas secara swadaya. “Timbang seluruh balita tanpa kecuali, tetapkan status gizinya, laporkan secara berjenjang dengan jujur. Penderita gizi buruk atau di bawah garis merah segera lakukan PMT (pemberian makanan tambahan) dan pemulihan di fasilitas kesehatan terdekat. Gizi buruk yang dipulihkan dikembalikan ke masyarakat melalui kader posyandu, bidan desa, dan puskesmas,” paparnya.

Dua tahun pertama

Ali Khomsan mengungkapkan, masa-masa penting dalam pertumbuhan bayi adalah dua tahun pertama. Sel otak anak sampai usia 2 tahun akan berkembang baik jika mendapat asupan gizi yang baik. Jika mengalami gizi buruk di bawah usia 2 tahun, perkembangan kecerdasannya akan terganggu. Ini tak akan tergantikan walau diberi asupan gizi misal sampai usia 5 tahun.

“Fase cepat tumbuh otak mulai dari janin usia 30 minggu sampai bayi 18 bulan. Otak tumbuh selama balita. Ketika lahir jumlah sel otak 66 persen, dengan bobot total 27 persen,” katanya.

Menurut Presiden Direktur Nestle Indonesia Peter Vogts, produk susu formula untuk usia 1-3 tahun bisa mengantisipasi balita kurang gizi dan gizi buruk karena nutrisinya lengkap.

841.000 Siswa SD Putus Sekolah Karena Faktor Ekonomi Menjadi Salah Satu Penyebab

Sekitar 841.000 siswa sekolah dasar serta 211.643 siswa SMP dan madrasah tsanawiyah putus sekolah karena berbagai faktor. Tingginya siswa yang putus sekolah mengancam program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar yang ditargetkan selesai akhir tahun 2008.

Direktur Pembinaan TK dan SD Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Mudjito mengatakan, angka putus SD/MI (madrasah ibtidaiyah) sekitar 2,90 persen, sedangkan total murid SD/MI sekitar 28,1 juta.

Mudjito mengungkapkan, penyebab siswa putus sekolah antara lain karena persoalan ekonomi, sosiokultural, dan letak geografis yang sulit.

Secara terpisah, Direktur Pembinaan SMP Depdiknas Didik Suhardi mengatakan, umumnya murid SMP putus di kelas I.

Guna menekan angka putus sekolah, lanjut Mudjito, pemerintah memberikan beasiswa kepada 690.000 murid SD/MI pada tahun 2008. Setiap anak mendapatkan Rp 360.000 setahun. Beasiswa diberikan kepada anak di kawasan rentan mengalami putus sekolah.

Selain itu, diselenggarakan pula program retrival atau penjemputan anak-anak yang putus untuk kembali bersekolah.

Komitmen

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Soedijarto, mengatakan, dengan adanya kata ”wajib” dalam Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, seharusnya segala hambatan anak menuntaskan pendidikan dasar bisa diatasi.

”Segala kebutuhan untuk bersekolah harus dipenuhi. Anak usia sekolah yang putus pendidikan dasar dicari dan dikembalikan ke lembaga pendidikan untuk menuntaskan pendidikan dasarnya,” ujarnya.

Persoalannya, memang seberapa jauh pemerintah menjalankan tugas melindungi warga negara secara aktif, termasuk mencerdaskan dan memenuhi hak pendidikannya.

”Jika memang menjadi prioritas dan ada komitmen, pembiayaan seharusnya tidak menjadi masalah. Semua unsur dan sektor pemerintahan seharusnya sepakat menempatkan pendidikan sebagai program utama. Di negara kesejahteraan, pendidikan merupakan prioritas,” ujarny

Gotong Royong Modal Sosial Diharapkan Dapat Mempercepat Pembentukan Sinergi

Guna menekan jumlah warga miskin di daerah, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri bersama Pemerintah Kabupaten Kulon Progo membentuk 14 pos pemberdayaan keluarga di dua kecamatan. Pos ini diharapkan mampu menjadi pusat pelatihan dan pengembangan potensi diri bagi warga miskin.

Dua kecamatan di Kulon Progo yang sudah memiliki pos pemberdayaan keluarga (posdaya), yaitu Kecamatan Pengasih dan Temon. Menurut Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo, kedua kecamatan tersebut dipilih sebagai percontohan posdaya karena warganya dikenal memiliki budaya gotong royong yang tinggi di Kulon Progo.

“Inti dari keberhasilan posdaya, bagaimana warga bisa bersinergi mengentaskan kemiskinan. Gotong royong merupakan modal sosial utama bagi pembentukan sinergi,” kata Toyo pada sosialisasi posdaya di Desa Kaliagung, Sentolo, Kulon Progo, Sabtu (9/8).

Menurut data Badan Pusat Statistik, saat ini jumlah warga miskin di Kulon Progo mencapai 42.078 rumah tangga, dengan jumlah anggota keluarga diperkirakan lebih dari 163.979 jiwa. Angka ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kulon Progo. Dijelaskan Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri Haryono Suyono, posdaya bisa juga dimengerti sebagai pendampingan masyarakat. Para petugas lapangan yang diterjunkan di tiap-tiap pos akan berusaha menggali masalah kemiskinan dan menemukan potensi wilayah serta sumber daya manusia yang ada.

Setelah itu, petugas bersama warga miskin akan bertukar pikiran mengenai solusi pengentasan kemiskinan yang sesuai dengan karakter wilayah. Solusi ini kemudian dinyatakan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan pelatihan, perintisan usaha, dan pengembangan kemampuan diri bagi warga.

“Kami juga sudah menyiapkan dana pendampingan yang dapat dimanfaatkan sebagai modal awal kegiatan warga di bank-bank daerah. Untuk seluruh Indonesia, jumlahnya Rp 1,2 triliun. Warga yang butuh bisa mengajukan permohonan kepada bank dan pasti akan disetujui,” tutur Haryono.

Sukses

Haryono optimistis posdaya akan sukses di Kulon Progo karena program tersebut telah berhasil di daerah lain. Sebagai contoh adalah Kabupaten Bantul, khususnya pada saat masa pemulihan pascagempa, tahun 2007. Kehadiran posdaya dalam wujud sekolah unggulan dan pos pelayanan terpadu (posyandu) plus mampu membangkitkan semangat gotong royong warga untuk memperbaiki fasilitas pelayanan masyarakat.

Diharapkan, pada tahun 2009 dan seterusnya, posdaya akan menyebar ke seluruh pelosok Kulon Progo. Untuk membantu menyosialisasikan program ini, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo akan dibantu oleh tenaga pendamping dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta.

Menurut Rektor UST Djohar, pihaknya akan berusaha menerapkan metode sosialisasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, dengan begitu program posdaya bisa lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh warga miskin.

Nenek Erfiene Meninggal Dunia Di Kolong Ranjang

Louise Komala (81) tidak tahu kakaknya, Erfiene Komala (84), sudah meninggal di kolong tempat tidur. Diperkirakan ia sudah 10 hari meninggal. Louise hampir saja ”turut meninggal” jika tidak segera ketahuan, hari Jumat (8/8) kira-kira pukul 09.30. Louise sudah berhari-hari tidak makan.

Jangankan makan, minum pun tidak. Akibatnya, ia kelaparan dan kehausan. Begitu diketahui, Louise segera dibawa ke Rumah Sakit Saint Carolus, sedangkan kakaknya langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, untuk diotopsi.

Menurut petugas Gereja Santo Ignatius, Jalan Malang, Jakarta Pusat, Lasimin (51), Louise mengatakan, beberapa pekan sebelum meninggal kakaknya punya kebiasaan tidur di kolong tempat tidur.

Satu hari, Louise membangunkan kakaknya. Karena tidak bereaksi, Louise jadi takut keluar. Pintu depan ia kunci. Louise memilih tidur kembali, tidak makan dan minum. ”Ia mengaku tidak bisa bangun dan rambatan di tembok untuk membuka pintu seperti biasanya. Sebab, ia lemah dan gemetar. Waktu di RS Saint (St) Carolus baru ketahuan, dia kekurangan banyak nutrisi karena tidak makan dan minum,” tutur Lasimin, Jumat (8/8) malam.

Kurang bergaul

Erfiene-Louise tinggal di Jalan Latuharhary Nomor 6A, Menteng, Jakpus. Untuk belanja, setiap hari Selasa keduanya minta diantar sopir bajaj, Sukirno, ke Supermarket Hero di Gondangdia. Mereka membeli persediaan makanan dan minuman. Untuk makan harian, setiap hari pukul 08.30, Sukirno datang ke rumah mereka membelikan makanan. Keduanya selama ini melajang.

Menurut Ketua RW 04 Kelurahan Menteng, Nyonya Eko Syamsudin, kedua nenek sudah jarang bergaul. Hidupnya cuma dari rumah ke gereja.

Eko mengatakan, mereka sudah lebih dari 20 tahun tinggal di rumah itu. Sebelumnya mereka tinggal di Jalan Tanjung, Menteng. ”Pasti dari keluarga kaya karena tinggal di kawasan ini,” tuturnya.

Kematian Erfiene terungkap setelah Sunarso, koster Gereja Kristen Indonesia (GKI), Menteng, mencium bau busuk di rumah kedua nenek yang letaknya bersebelahan dengan gedung GKI. Sunarso pun melapor ke pengurus Gereja St Ignatius, Eko, dan Polsek Metro Menteng.

Polisi dan sejumlah orang menjebol pintu depan dengan linggis. Jenazah Erfiene di kolong tempat tidur. Louise terbaring lemah di ranjang. Ia dibawa ke Pastoran Gereja St Ignatius. Dari sana ia dibawa ke RS St Carolus.

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Menteng Inspektur Satu Warjono yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan penyebab kematian Erfiene. ”Tunggu hasil otopsi Sabtu (9/8),” paparnya. Lasimin menambahkan, dari rumah keduanya ditemukan uang Rp 3,9 juta dan kertas deposito sebuah bank senilai 28.000 dollar AS

Globalisasi Sumber Pemiskinan Rakyat

Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).

Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.

Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual

Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.

Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.

Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.

Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.

Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.

Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.

Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.

Negara lemah

Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).

Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.

Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.

Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.

Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.

Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.

Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Orang Miskin Banyak Butuh Bantuan Hukum

Hingga kini sebagian besar masyarakat miskin yang mencari keadilan dan memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar tidak mendapat bantuan hukum. Padahal, mendapatkan bantuan hukum adalah hak asasi manusia yang seharusnya dijamin negara.

Oleh karena itu, pemerintah didesak agar memasukkan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum dalam Program Legislasi Nasional 2008.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen mengatakan hal itu, Kamis (7/8) di Jakarta. ”Bantuan hukum sebagai hak asasi manusia sebenarnya sudah masuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sejak tahun 1980-an, tetapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” ujarnya.

Ia menegaskan, selama ini tidak ada peran negara yang jelas dalam pemberian bantuan hukum kepada orang-orang miskin pencari keadilan. Di lapangan masih banyak terjadi pengadilan tunggal di mana orang miskin diadili tanpa didampingi penasihat hukum.

”Padahal, kalau sejak masa penahanan saja mereka didampingi pengacara, mungkin saja sanksi hukuman tidak terlalu tinggi,” ujarnya.

Contoh lain, kata Patra, kasus demonstrasi di Universitas Nasional. Ketika itu banyak di antara mereka yang ditangkap tidak ada hubungan dengan demonstrasi mahasiswa. ”Kalau tak ada pengacara yang mendampingi, mereka bisa berhari-hari di tahanan,” ujarnya.

Menurut Patra, ada tiga hal penting dalam RUU tersebut, yaitu paradigma tentang pemberian bantuan hukum, organisasi yang menyediakan bantuan hukum, dan peran negara yang mengatur supaya benar-benar bisa menjamin hak atas bantuan hukum itu. ”RUU Bantuan Hukum sama sekali tidak bertentangan dengan UU Advokat,” katanya

Proyek Milenium Untuk Mengantisipasi Kegagalan Negara Indonesia Yang Tinggal Tunggu Waktu Saja

Kegagalan negara-negara akan menjadi salah satu sumber atau konflik di dunia dalam satu dekade mendatang. Masalah lain yang menjadi penyebab adalah kelangkaan pangan dan energi serta meningkatnya kejahatan yang terorganisasi.

Setidaknya, demikian gambaran yang dituliskan dalam 2008 State of the Future Report, hasil dari Millennium Project, yang diprakarsai badan-badan PBB yang memiliki perwakilan di lebih dari 100 negara.

Apakah Indonesia akan masuk kategori negara gagal atau negara yang menjadi lokasi kekerasan dan ketidakstabilan politik, sebagaimana diramalkan laporan itu? Hal ini bisa terjadi jika antisipasi secara dini tidak dilakukan.

Namun, menjadi ironis jika Republik Indonesia termasuk sebagai negara yang masuk kategori itu. Masalahnya, RI pernah memiliki pola pembangunan yang jika ditata makin baik, akan membuat Indonesia tidak saja terhindar dari malapetaka, tetapi juga jadi negara unggulan.

Ekonom senior Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, misalnya, mengatakan, di Indonesia sebenarnya pada era pemerintahan Soeharto pernah memiliki program yang dapat mengantisipasi kelangkaan pangan, seperti jaringan irigasi dan pembukaan lahan pertanian.

Fauzi berbicara soal ketahanan pangan, yang juga merupakan sumber kekacauan banyak negara di masa depan.

”Dahulu ada program transmigrasi. Para petani diberikan lahan dan mereka membuka lahan baru. Petani tidak hanya menjadi penggarap, tetapi juga pemilik lahan,” kata Fauzi.

Di Pulau Jawa, sebagian besar petani hanya menjadi orang upahan. Akibatnya, jika ada kenaikan harga beras atau tekanan inflasi, buruh tani sangat terpukul. Sebaliknya, jika harga beras bagus, petani upahan juga tidak menikmatinya.

Karena itulah program transmigrasi dulu itu masih tetap relevan dilakukan, tetapi dengan perencanaan utuh, sehingga tidak membuat transmigran malah lari kembali ke Pulau Jawa.

Transmigrasi juga membuat terwujudnya program pendistribusian lahan yang lebih merata. Jika dihidupkan lagi dengan perencanaan lebih baik, tingkat produktivitas lahan juga harus diperbaiki. Hal ini juga sangat urgen, terutama lahan pertanian di Jawa yang padat penduduk.

”Hal lain yang penting adalah berinvestasi lebih banyak lagi pada produksi bibit unggul,” katanya lagi.

Fauzi mengatakan, masalah pangan memang masalah yang menjadi sangat krusial beberapa tahun ke depan. ”Banyak negara akan berperang hanya karena masalah pangan,” lanjutnya.

Persoalan irigasi, menurut dia, merupakan hal lain yang juga harus dibenahi dalam mengantisipasi kekacauan karena pangan itu. ”Sebenarnya dahulu sudah ada pembukaan jaringan irigasi yang cukup baik. Hanya saja, belakangan ini tampaknya irigasi sudah tidak menjadi perhatian lagi, padahal perannya besar dalam pertanian,” ujarnya.

Pemimpin penuntun

Mohtar Mas’oed, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tak ragu mengatakan bahwa RI belum bisa dikatakan sebagai negara gagal. Alasannya, berbagai kelembagaan masih ada dan masih membuahkan hasil. Contoh paling nyata adalah produksi ekonomi masih berlangsung.

Namun, Mohtar tidak membantah jika RI menjadi negara dengan warga yang kini suka menghina diri sendiri. RI juga jadi negara dengan kecurigaan tinggi kepada siapa saja yang dianggap akan ”menerkam”.

Mohtar meminta, keadaan ”kacau”, yang memang tidak dibantah keberadaannya, seharusnya tidak membuat semua pihak menjadi tidak bergerak dan tidak beranjak.

”Saya ada di poros yang tidak mau sekadar menyalahkan keadaan,” kata Mohtar. ”Jika keadaan sudah begini, hal yang harus segera dilakukan adalah bagaimana agar kita keluar dari sederet permasalahan,” ujarnya.

Mohtar mengatakan, kini pembangunan keyakinan (confidence building) merupakan hal utama. Membuat bangsa menjadi yakin pada diri sendiri, menjadi mampu berbuat suatu, sehingga tidak terjebak pada lingkaran persoalan yang ada tanpa melakukan terobosan.

Namun, pembangunan kepercayaan diri itu, ujar Mohtar, berpulang pada keberadaan seorang pemimpin. ”Negara mana pun memang memerlukan pemimpin yang menjadi semacam pemberi navigasi,” katanya.

”Kita memerlukan ini. Pertanyaannya, kepada siapa kita menyandarkan kepemimpinan ini,” lanjutnya.

Mohtar mengatakan, dunia sebenarnya tidak perlu menjadi kacau. Jika bicara soal ketahanan pangan dan energi, masalahnya bukanlah pada ketiadaan pangan dan energi. Masalah yang muncul adalah ketidakmerataan distribusi. Ada yang mendapatkan sedikit, ada yang mendapatkannya secara berlebihan.

Hal ini lahir dari paradigma yang menganggap produksi dengan sendiri membuat distribusi terjadi secara merata. Kenyataan yang terjadi di dunia ini tidaklah demikian.

Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah penciptaan sistem yang membuat pemerataan terwujud. Bagaimana agar sistem itu tercipta? Inilah yang harus menjadi pemikiran kita.

Namun, semua ini kembali lagi pada bagaimana agar sebuah keyakinan pada diri sendiri bangkit, sebuah keyakinan yang sebenarnya menjadi dasar bagi niat untuk bekerja lebih baik dengan hasil yang diyakini akan terjadi.

Kini bukan lagi saat menjadi saling sinis satu dengan yang lainnya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan ketimbang terjebak dalam sinisme