Sulitnya Mengatasi Kematian Ibu dan Anak Di Tanah Papua

Panas sungguh terik di Kampung Sereh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, Sabtu (22/11) siang. Sejumlah anak menangis dalam gendongan ibunya. Gerah, barangkali. Mungkin juga lapar. Sebagian, tampak bermain sekedarnya di ruang sempit Posyandu Ottauw, Kampung Sereh.

Ketika pejabat datang, seusai pencanangan Revitalisasi Posyandu dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), anak batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun) ditimbang gantung. Sebagian anak memberontak, menangis.

Ada sejumlah anak batita dan balita menderita penyakit kulit serta gizi kurang. Namun, hari itu bukan untuk mendata penyakit tersebut, kecuali untuk menunjukkan aktivitas Posyandu yang dilengkapi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Yoas, seorang ibu (22) berharap bagaimana agar kesehatan anak-anaknya dan juga dirinya bisa lebih diperhatikan. ”Selama ini pelayanan kesehatan hanya dilakukan oleh kader Posyandu,” ujar ibu itu. Harapan ibu Yoas, dan juga ibu-ibu lainnya di Jayapura, sama halnya dengan tekad Provinsi Papua, yang mencanangkan Menuju Papua Baru; Ibu Sehat Anak Sehat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Bagus Sukaswara mengungkapkan, angka kematian ibu melahirkan di Papua 396 per 100.000 kelahiran hidup dan kematian bayi 52 per 1.000 kelahiran hidup.

”Yang mendesak, ini persoalan krusial dan kritis, adalah penyediaan tenaga kesehatan yang berdaya tinggal tinggi. Kalau tidak, saya khawatir, ibu-ibu hamil dan bayi di pelosok-pelosok kampung di Papua, terancam tidak mendapatkan pelayanan dan perawatan kesehatan sebagaimana mestinya,” ujar Bagus.

Direktur Bina Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan Sri Hermiyanti Yunizarman mengakui, Papua merupakan satu dari 13 provinsi di Indonesia yang angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, cakupannya di bawah 75 persen.

Menurutnya, saat ini derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih belum memuaskan. Hal ini antara lain ditandai dengan tingginya angka kematian ibu, yaitu 334/100.000 per kelahiran hidup yang merupakan angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN.

Data Depkes menyebutkan, penyebab langsung kematian ibu 28 persen karena pendarahan, eklamsia (24 persen), komplikasi puerperium (8 persen), abortus (5 persen), partus macet/lala (5 persen), trauma obstetrik (5 persen), emboli obstetrik (3 persen), dan lain-lain (11 persen).

Adapun penyebab langsung kematian bayi baru lahir, 29 persen disebabkan berat bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia (13 persen), tetanus (10 persen), masalah pemberian makan (10 persen), infeksi (6 persen), gangguan hematologik (5 persen), dan lain-lain (27 persen).

Data yang diperoleh Kompas dari Millennium Development Goals dalam laporan 2007/2008 menyebutkan, setiap tahun sekitar 18.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Melahirkan yang seyogyanya menjadi peristiwa bahagia, tetapi seringkali berubah menjadi tragedi.

Karena itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berharap agar jajaran pemerintah kota dan kabupaten dapat meningkatkan perhatian terhadap status kesehatan, terutama penurunan angka kematian ibu dan anak.

Kondisi Kritis

Kepala Dinas Kesehatan Papua Bagus Sukaswara melukiskan kondisi pelayanan kesehatan di daerahnya sebagai krusial dan kritis. Ia melukiskan, tingginya angka kematian ibu dan anak di Papua karena pertolongan persalinan yang dilakukan tenaga kesehatan masih di bawah 75 persen. Bidan atau tenaga kesehatan jumlahnya pun tak lebih dari 60 persen.

”Jumlah bidan yang ada sekarang tak lebih dari 1.000 orang. Dari jumlah yang ada itu, jika mereka menikah, sering 'lari', maksudnya mengikuti kepindahan suaminya, yang umumnya polisi dan tentara,” ujarnya.

Di Papua ada 3.300 kampung. Terbuka lebar untuk menjadi bidan di sana. Persoalannya, profesi bidan kurang diminati, karena medan tugas yang jauh di pelosok.

”Bekerja sebagai bidan, yang dibutuhkan adalah sepatu yang baik, kaki yang kuat dan berdaya tinggal tinggi,” ujarnya.

Di sisi lain, banyak banyak masyarakat yang memilih untuk persalinan secara tradisional, tanpa dibantu bidan. ”Bukan cuma di Papua, di daerah lain juga begitu,” kata Direktur Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan, Sri Hermiyanti.

Ia menggambarkan, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sekitar 75 persen sehingga masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi yang menggunakan cara-cara tradisional.

Banyak ibu-ibu di Papua mengaku lebih memilih tenaga tradisional. Kenapa? Banyak alasan. Salah satunya, karena biayanya murah dan dapat dibayar dengan hasil pertanian atau barang-barang lain. Mereka yakin, tenaga persalinan tradisional lebih mudah ditemukan dan beranggapan bahwa mereka lebih memberikan perawatan pribadi.

Sri Hermiyanti juga mengakui, salah satu kendala utama lambatnya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia adalah hambatan terhadap penyediaan dan akses pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.

Jika pada hari Kesehatan Nasional ke-44 tahun 2008 tema yang diangkat Rakyat Sehat, Kualitas Bangsa Meningkat, maka Kondisi Ibu dan anak di Papua, cerminan kualitas bangsa yang rendah. Cerminan pelayanan kesehatan publik yang rendah.

Siapa sangka, di balik tanah Papua yang kaya, ternyata kesehatan masyarakatnya memprihantinkan…

1 responses to “Sulitnya Mengatasi Kematian Ibu dan Anak Di Tanah Papua

  1. saya bangga dengan suara anda…..

Tinggalkan komentar